Senin, 09 November 2015

Islam dan Gender


Setiap perbincangan mengenai gender dan agama, selalu didalamnya ada semacam asumsi atau prasangka intelektual bahwa agama merupakan faktor signifikan atas munculnya diskriminasi atau ketidakadilan gender. Atau lebih tepatnya, diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan. Asumsi ini bisa benar, namun juga bisa tidak. Ketika isu gender di angkat, yang timbul dalam benak kita adalah diskriminasi terhadap wanita dan penghilangan hak-hak terhadap mereka. Gender yang telah diperjuangkan oleh beberapa kalangan, baik dari kalangan akademisi atau dari kalangan yang menanggap bahwa Islam adalah agama yang memicu kehadiran isu gender tersebut di dunia ini. Tentunya para orientalis yang berbasis misionarisme ini ingin mendiskreditkan umat Islam dengan mengangkat isu ini dalam berbagai tulisan dan buku atau artikel-artikel yang menyudutkan dan memberikan opini secara sepihak tentang islam dan gender.

Islam tidak membedakan antara hak dan kewajiban yang ada pada anatomi manusia, hak dan kewajiban itu selalu sama di mata Islam bagi kedua anatomi yang berbeda tersebut. Islam mengedepankan konsep keadilan bagi siapun dan untuk siapapun tanpa melihat jenis kelamin mereka. Islam adalah agama yang telah membebaskan belenggu tirani perbudakan, persamaan hak dan tidak pernah mengedapankan dan menonjolkan salah satu komunitas anatomi saja. Islam hadir sebagai agama yang menyebarkan kasih sayang bagi siapa saja. 

Rasulullah telah memberikan nasehat kepada para muslim agar mengormati dan menghargai perempuan seperti sabdanya : “Sebaik-baik kamu adalah yang terbaik terhadap keluarganya, dan aku adalah orang terbaik di antara kamu terhadap keluargaku. Orang yang memuliakan kaum wanita adalah orang yang mulia, dan orang yang menghina kaum wanita adalah orang yang tak tahu budi”. ( HR. Abu Asakir ).

Dijelaskan pada Hadits
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً
“Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk. Dan sungguh bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah yang paling atasnya. Bila engkau ingin meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Dan jika engkau ingin bersenang-senang dengannya, engkau bisa bersenang-senang namun padanya ada kebengkokan.” (HR. Al-Bukhari no. 3331 dan Muslim no. 3632)

Islam sangat memuliakan wanita dikarenakan seperti yang di jelaskan pada Hadits diatas, bahwa wanita diciptakan Allah SWT dari tulang rusuk. Itu berarti seorang wanita adalah salah satu bagian yang sangat penting dari dunia ini. Allah SWT berfirman

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُوا
“Dan jika kalian khawatir tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim (bilamana kalian menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita lain yang kalian senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak perempuan yang kalian miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk kalian tidak berlaku aniaya.” (An-Nisa`: 3)

Surat diatas menjelaskan bahwa wanita sangat di hormati di Islam. Surat Annisa diatas menjelaskan bahwa tidak pandang wanita muda, tua, kaya, dan juga miskin. Semua wanita memiliki hak mereka tersendiri. Wanita yatim pun harus diperlakukan adil. Dijaganya hak wanita yatim ini merupakan bukti bahwa Islam sangat menghormati wanita.

Al-Quran memang sudah merupakan teks yang final dan tidak akan pernah berubah, karena perubahan kitab suci berarti kehilangan otentisitas , kesucian, dan "kepastian hukum" yang merupakan klaim utama dari eksistensi dan alasan keberadaan agama. Namun, agama sebagai konstruksi sosial merupakan sesuatu yang terus di reproduksi oleh pemeluk-pemeluknya dalam aktualisasi individu dan kolektif yang bersifat lokal. Dengan asumsi-asumsi seperti diatas, maka tafsir terhadap agama sesungguhnya sangat ditentukan oleh kepentingan individu pemeluk agama secara umum, atau elit-elit agama yang mempunyai "hak istimewa" untuk menafsirkan kitab suci. Kepentingan itu terkait dengan perebutan sumber-sumber kekuasaan atas ekonomi, politik, dan sosial yang dengannya manusia menjaga kelangsungan eksistensinya dan menjaga kepentingan primordialnya. Meski semua agama  pada hakikatnya mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, seperti keadilan, kasih sayang, kebebasan dan lain-lain.

Atau dalam arti lain, hampir tidak da hubungan yang signifikan dan absolut antara agama dan keadilan atau ketidadilan gender. Menurut agama non Muslim atau negara-negara barat, Amerika Serikat misalnya, posisi perempuan dalam struktur politik. Karena itu lebuh penting adalah bagaimana wacana dan gerakan yang lebih memahami kebutuhan perempuan berdasarkan perspektif perempuan itu sendiri. Jadi selama masih dalam aturan-aturan dan tidak mengganggu Hak Asasi Manusia lain, perempuan tidak harus di batasi dan berdasarkan perspektif perempuan itu sendiri selama perempuan tersebut masih mampu.